Header Ads Widget



Hari Natal dalam Kacamata Islam


Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,


Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atas rahmat dan karunia-Nya semata kita semua bisa hadir ke tempat yang paling dicintai Allah Ta’ala di muka bumi ini, untuk melaksanakan kewajiban kita sebagai muslim yaitu ibadah shalat Jumat.


Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita yang mulia Muhammad ﷺ, keluarganya, para sahabatnya, dan siapa saja yang mengikuti sunnah beliau lahir dan batin dengan penuh keikhlasan dan kesabaran hingga akhir zaman.


Kami wasiatkan kepada diri kami sendiri dan kepada kaum Muslimin sekalian agar senantiasa menguatkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana saja kita berada. Di antara caranya adalah dengan menguatkan pegangan kita terhadap ajaran dan tuntunan Allah dan Rasul-Nya ﷺ dalam kehidupan ini, serta menjauhi segala seruan yang bertujuan untuk menjauhkan kaum Muslimin dari berpegang teguh dengan ajarannya.


Fenomena Toleransi Atas Nama Natal


Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,


Saat ini kita di berada di bulan penghujung tahun Masehi yaitu bulan Desember. Di bulan ini, kaum Nasrani akan merayakan salah satu hari raya agama mereka.


Biasanya, setiap ada momentum ini, ada upaya-upaya untuk menunjukkan sikap toleransi dengan ikut menghadiri acara Natal bersama atau paling kurang dengan ikut mengucapkan selamat atas hari besar agama tersebut.


Persoalan ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama tentang status hukumnya. Hanya saja, mungkin masih ada sebagian orang yang tidak mengerti sepenuhnya duduk masalah ini. Para ulama menjelaskan bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk berbuat baik dan bersikap adil kepada non muslim selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin karena agamanya.


Bahkan dalam masalah bersikap adil, kepada non Muslim yang memusuhi pun harus tetap adil, tidak boleh melakukan kezhaliman kepadanya. Sehingga dalam sejarah penaklukan Islam, kaum muslimin diakui oleh sejarawan Barat sebagai penakluk paling santun dan adil di muka bumi. Tidak pernah terjadi adanya pemaksaan terhadap penduduk negeri non muslim yang dikuasai kaum muslimin untuk masuk Islam.


Bahkan saat sahabat Nabi ﷺ yang agung, Abu Ubdaidah Ibnul Jarrah radhiyallahu ‘anhu mengembalikan jizyah (pajak perlindungan keamanan non muslim di negeri islam) kaum Nasrani di Homs, Suriah, karena tidak mampu lagi melindungi mereka dari serbuan tentara Romawi pada tahun 13 H, mereka takjub dengan sikap kaum Muslimin tersebut.


Para pemuka mereka menulis surat kepada Abu Ubaidah, Gubernur Syam saat itu,” Wahai kaum Muslimin, kalian lebih kami cintai dari pada Romawi, meskipun mereka sama agamanya dengan kami.


Kalian lebih memenuhi janji kepada kami. Kalian lebih belas kasih kepada kami, lebih menjaga diri dari menzhalimi kami dan lebih baik dalam memimpin kami.” [Samahatul Islam fi Mu’amalati Ghairil Muslimin, Dr. Abdullah bin Ibrahim Al-Luhaidan, hal. 17]


Ini bukti tak terbantahkan bahwa kaum Muslimin sejak dahulu kala dikenal sebagai umat yang sangat toleran di muka bumi.


Hanya saja, praktek toleransi para leluhur kaum Muslimin yang mulia itu tidak berbentuk seperti yang dilakukan hari ini, yaitu ikut datang dalam acara ibadah malam natal, mengucapkan selamat atas hari raya tersebut dan lain sebagainya yang merupakan kekhususan dalam keyakinan kaum Nasrani.


Tidak pernah didapatkan riwayat bahwa para khalifah Islam dan Gubernur wilayah di masa khulafaur rasyidin dan era setelahnya, melakukan hal seperti itu.


Namun demikian, kaum Nashara sudah merasakan betapa bebas dan tenangnya hidup di bawah naungan sistem Islam dan kepemimpinan kaum Muslimin yang konsisten dengan Islam. Maka dari itu, kami merasa perlu untuk mengingatkan kembali diri kami sendiri dan Jamaah Jumat sekalian tentang masalah sikap Muslim terhadap perayaan hari besar agama non Muslim, yang kebetulan saat ini konteksnya adalah Hari raya Natal.


mendahulukan menolak kerusakan daripada meraih kemaslahatan.


Setelah memaparkan semua dalil dari al-Quran, hadits dan kaidah ushul fikih yang tidak bisa kami paparkan semuanya di sini, MUI Pusat saat itu memutuskan memfatwakan:


1. Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa ‘alaihis salam, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.


2. Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumya haram.


3. Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.


Fatwa Mui ini ditetapkan di Jakarta, 1 Jumadil Awal 1410 H / 7 Maret 1981 M oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan ketua komisi KH. Muhammad Syukri Ghazali dan sekretarisnya Drs. H. Mas’udi.


Fatwa ini sama sekali tidak menyinggung hukum mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani pada hari Natal.


Banyak orang yang salah paham tentang masalah ini. Larangan tentang ucapan selamat atas hari raya non Muslim tidak berasal dari fatwa MUI ini di era kepemimpinan Buya Hamka rahimahullah.[ii]


Menyikapi Perayaan Natal


Ma’syiral Muslimin rahimakumullah


Toleransi agama itu artinya bukan ikut dalam acara ritual agama lain atau terlibat secara langsung dalam ibadah khusus mereka. Toleransi itu merupakan sikap teguh dengan ajaran Islam, namun tidak memaksakan orang non Muslim untuk masuk Islam atau mengikuti ibadah umat Islam. Toleransi itu membiarkan penganut agama lain untuk menjalankan keyakinan mereka, itulah toleransi yang dicontohkan dalam Islam. 


Menghormati dan bertoleransi terhadap pemeluk agama lain bukan dengan cara melakukan sesuatu yang dilarang oleh ajaran agama kita sendiri berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan kuat. Ini namanya salah praktek toleransi. Kita dilarang menzhalimi diri sendiri dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, sebagaimana kita dilarang menzhalimi orang lain termasuk kepada para non Muslim.


Dengan demikian, kita bisa memberikan pensikapan yang baik namun tegas terhadap kaum non Muslim, dalam konteks saat ini adalah kaum Nasrani yang hendak merayakan hari raya Natal. Sikap yang baik berupa tidak menganggu jalannya ibadah mereka dan perayaan mereka. Namun tegas untuk tidak ikut terlibat dalam ibadah tersebut sama sekali. Tidak perlu sampai melakukan sesuatu yang justru bisa memberikan madharat kepada agama kita sendiri, misalnya dengan menghadiri acara Misa Natal, memakai atribut Natal dan segala yang bersifat khas dalam ibadah mereka.


Semua itu merupakan bentuk pengagungan kepada keyakinan agama mereka. Padahal dalam Islam keyakinan agama mereka itu merupakan syirik besar. Bagaimana mungkin kita terlibat dalam sebuah ibadah yang dikategorikan sebagai kezhaliman yang besar oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyebut kemusyrikan itu kezhaliman yang besar.


Zhalim terhadap hak Allah Ta’ala, yaitu tidak mensekutukan sesuatu dengan Allah Ta’ala. Maka, cukuplah kita bertoleransi dengan menghargai hak mereka, membiarkan kaum Nasrani merayakan Hari Natal dengan aman tanpa gangguan sama sekali, bebas tanpa penindasan.


Inilah yang dilakukukan kaum Muslimin sejak jaman dahulu. Sungguh para sahabat nabi ﷺ adalah contoh terbaik setelah Nabi Muhammad ﷺ dalam masalah toleransi. Dengan mengikuti mereka kita tidak akan tersesat.