Header Ads Widget



WARA’ DAN KEUTAMAANNYA

Kaum Muslimin Yang Dirahmati Allah,

Pada kesempatan yang mulia ini, marilah bersama-sama kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala limpahan rahmat dan berbagai karuniaNya kepada kita. Nikmat Islam, Iman dan Kesehatan adalah bagian dari sekian banyaknya karunia Allah yang telah diberikanNya kepada ini.


Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi dan RasulNya, Nabi

Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, yang telah berjuang dengan segala kemampuan yang

dimilikinya dalam menyampaikan risalah (ajaran) yang diturunkan Allah kepadanya, serta

diperintahkan pula untuk disampaikan kepada segenap ummat manusia, demi tercapainya

kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak.


Kaum Muslimin Yang Dirahmati Allah,

Pada kesempatan ini pula, khatib akan menyampaikan khutbah dengan judul: Wara’ dan Keutamaannya. Dengan pembahasan ini diharapkan kita dapat mengetahui dengan baik tentang bagaimana kita bisa dan harus bersikap wara’ atau berhati-hati dalam menjalani kehidupan kita ini.


Kaum Muslimin Yang Dirahmati Allah,

Pada kesempatan yang mulia ini khatib akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan wara’. Baik apa yang dimaksud dengan wara’, hukum kita menjadi orang yang wara’ serta beberapa contoh orang yang wara’.


Pengertian Wara’.

Wara’ merupakan sikap berhati-hati dalam menjauhi perkara syubhat dan haram, demi menjaga kesucian dan kebersihan hati serta amal kita. Dalam Islam, wara’ sangat dianjurkan untuk menjaga ketakwaan kepada Allah.


Ibnu Qaiyim al-Jauziyah semoga Allah merahmatinya menjelaskan makna dari sebuah sifat yang agung, yaitu Wara’, di dalam kitabnya Madarijus-salikin, beliau berkata: Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah menghimpun makna wara’ dalam sebuah ungkapan: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menghimpun makna wara’ dalam satu kalimat yaitu dalam sabda beliau:


Di antara tanda kebaikan Islam seseorang yaitu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat. (HR.

Imam Malik).


Yang dimaksudkan hadits meninggalkan hal yang tidak bermanfaat yaitu mencakup perkataan, penglihatan, pendengaran, bertindak anarkis, berjalan, berpikir, dan berbagai aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sudah mencukupi untuk memahami arti wara’.


Kaum Muslimin Yang Dirahmati Allah, Sifat kehati-hatian ini menjadi bagian dari indikator benarnya iman seseorang. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam al-Qur’an:


Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah: 278)


Ayat ini menunjukkan pentingnya sikap berhati-hati dalam urusan yang meragukan, seperti dalam bermuamalah yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat. Sikap wara’ atau kehati-hatian ini menjauhkan kita dari hal-hal yang dapat mengotori keimanan dan amal.


Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, ketika menjelaskan ayat di atas berkata:

Selaras dengan penyebutan hukuman yang akan didapatkan oleh pemakan riba pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala menyeru hamba-hambaNya yang beriman dengan memerintahkan mereka untuk bertakwa kepadaNya. Hal itu direalisasikan dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, serta dengan meninggalkan transaksi-transaksi ribawi yang masih tersisa pada beberapa orang. Allah meningatkan mereka dengan memanggil keimanannya karena seorang mukmin adalah orang yang bersegera untuk menyambut seruan Allah dan segera melaksanakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Allah Ta’ala berfirman,”Wahai orangorang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.



Wajib Bersikap Wara’.

Sebagai seorang hamba Allah yang mukmin, yang senantiasa tunduk dan patuh kepada ketentuan Allah dan rasulNya, kita wajib menjadi orang yang wara’ atau berhati-hati dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Salah satu keutamaan wara’ adalah menjaga hati tetap bersih. Hati yang bersih adalah sumber ketenangan dan kebaikan.


Di dalam sebuah hadits, Rasulullahi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara yang syubhat (samar), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barang siapa yang menjaga dirinya dari perkara syubhat, maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. (HR. Bukhari dan

Muslim)


Kaum Muslimin Yang Dirahmati Allah,

Dalam hadits di atas tampak dengan jelas bahwa sesuatu yang halal itu jelas, terang, sebagaimana sesuatu yang haram itu juga jelas dan terang. Terus di mana letaknya perkara-perkara yang dikatakan syubhat itu?

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa sesuatu yang diragukan kehalalannya, atau diragukan kebolehannya adalah syubhat, itulah yang dikatakan syubhat, samar-samar. Terhadap kondisi yang seperti ini ada pentunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang menuntun kita agar tidak salah dalam menjalani kehidupan ini.


Ibnu Abbas semoga Allah meridhainya meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda:

Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)



Kaum Muslimin Yang Dirahmati Allah, Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk meninggalkan hal-hal yang tidak jelas status hukumnya, dan lebih memilih yang benar-benar jelas kehalalannya. Dengan sikap seperti ini, seorang Muslim akan menjaga hatinya dari keraguan yang bisa merusak iman dan ketenangan batin.


Kisah Seorang Yang Wara’.

Sikap wara’ juga memperkuat iman dan rasa takut kepada Allah. Imam Hasan Al-Bashri berkata: Wara’ adalah meninggalkan apa yang meragukan demi menjaga kehormatan dan kebaikan. Sikap seperti ini menunjukkan keimanan yang kuat, karena hanya orang yang benar-benar takut kepada Allah yang mau bersusah payah menjaga dirinya dari perkara syubhat.


Kisah Abu Bakar As-Shiddiq semoga Allah meridhainya. Aisyah semoga Allah meridhainya meriwayatkan bahwa ayah beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq semoga Allah meridhainya memiliki seorang budak yang setiap hari membayar setoran kepada Abu Bakar semoga Allah meridhainya (berupa harta atau makanan) dan beliau makan sehari-hari dari setoran tersebut.


Suatu hari, budak tersebut membawa sesuatu (makanan), lalu Abu Bakar semoga Allah meridhainya memakannya. kemudian budak itu berkata kepada beliau: Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?. Abu Bakar semoga Allah meridhainya balik bertanya: Makanan ini (dari mana)?. Budak itu menceritakan: Dulu di jaman Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut, lalu dia memberikan (hadiah) kepadaku makanan yang anda makan ini. Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau. (HR. Bukhari )


Kaum Muslimin Yang Dirahmati Allah,

Kisah ini menggambarkan tingginya ketakwaan dan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau sangat berhati-hati dalam menjaga anggota badan beliau dari mengkonsumsi makanan yang tidak halal, dan inilah aplikasi dari sifat wara’ yang sebenarnya.


Oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk selalu bersikap wara’, menjauhi segala yang syubhat, mencakup perkataan yang tidak bermanfaat, pandangan dan pendengaran yang tidak berguna, bertindak anarkis, berjalan ke tempat yang tidak pantas, berpikir ngawur, dan berbagai aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sudah mencukupi untuk memahami arti wara’.


Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk menjaga diri dari berbagai perbuatan dosa serta

memberikan kita taufiq untuk memperbaiki hati dan diri kita.