Header Ads Widget



Mendorong Sosok Pemimpin Ideal Aceh - Oleh: Prof. Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA


Ketua Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh


Mendiskusikan sosok kepemimpinan Aceh masa depan merupakan suatu issu menarik, apalagi selaras dengan tibanya musim Pilkada 27 November 2024 mendatang. Di lapangan sudah terlihat kasak kusuk para calon pemimpin baik level gubernur maupun bupati atau walikota yang sebahagiannya sudah memasang spanduk dan baliho. Suasana semacam ini membuktikan keseriusan para calon untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi agar dapat berkuasa lima tahun kedepan, tentunya para calon yang sudah tampil tersebut akan disaring oleh masyarakat siapa yang layak dan kapabel untuk memimpin mereka.


Sudah barang tentu Aceh sebagai sebuah provinsi yang pernah menjadi sebuah negara zaman dahulu sarat dengan format dan model kepemimpinan yang sudah pernah berlalu. Kalau Masyarakat Aceh memahami sejarah kepemimpinan di Aceh tempo dulu tidaklah susah untuk menentukan dan memilih calon pemimpin Aceh masa depan. Pasalnya Aceh memang memiliki banyak stock kepeimimpinan ideal yang sudah pernah tampil masa lampau seperti Sultan Ali Mughayyatsyah, Sultan Iskandar Muda, Tgk. Syhik di Tiro Muhammad Saman, Tgk. Muhammad Dawud Beureu-eh, Prof. Ali Hasjmy, Prof. Majid Ibrahim, Prof. Ibrahim Hasan, Prof. Syamsuddin Mahmud, dr, Zaini Abdullah, drh. Irwandi Yusuf dan lainnya.


Sudah barang tentu kalau bangsa Aceh hari ini dapat memahami watak, karakter, sifat dan model kepemimpinan para pemimpin Aceh tempo dulu dan memilih serta memilah yang baik diambil serta yang tidak baik diabaikan, maka format kepemimpinan Aceh masa depan akan dapat dipastikan jatuh ketangan siapa dan sosok yang mana. Kalaupun format tersebut tidak terdapat pada para calon yang sudah tampil hari ini, maka bangsa Aceh harus berusaha siapa yang terpilih harus mengikut jejak Langkah pendahulu yang baik-baik dan positif dengan membuang yang buruk dan negatif.


Latar Belakang Kepempimpinan Aceh 


Sebagai wilayah yang pernah menjadi sebuah negara dahulukala Aceh memiliki Sejarah masa lalu yang sangat cemerlang, terutama terkait dengan kepemimpinan. Ketika Aceh menjadi Kerajaan Aceh Darussalam (KAD) yang diwujudkan Sultan Ali Mughayyat Syah (1514-1530), beliau sudah berjaya memerangi penjajah Portugis dalam rentang tahun 1520 dan berhasil mengusir total para penjajah Portugis di bumi Aceh. Peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam tersebut kemudian megah dan popular sepopulernya di tangan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1590-1636), beliau menjadikan Al-Qur’an, Hadits, Ijmak dan Qiyas sebagai sumber hukum negara. Beliau juga yang Berjaya mengembangkan wilayah Aceh sampai kepedalaman Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaysia.


Iskandar Muda yang menjadi lambang kejayaan Aceh sampai hari ini tidak pernah tunduk kepada penjajah dan tidak pernah mengekor kepada para penjahat walaupun harus menerima resiko yang tinggi. Beliau jujur dengan hukum dan undang-undang, Ketika puteranya Meurah Pupok terlanjur berzina segera diferifikasi dan dieksekusi dengan hukum rajam walaupun dia calon penggantinya. Manakala para pembesar negeri protes, dengan ringan saja beliau menjawab: Mate aneuk meupat jeurat, gadoih hukom ngon adat pat tajak mita (mati anak punya kuburan, kalau hilang hukum Islam kemana hendak dicari). Memang Iskandar Muda bukan tidak pernah menyetujui hukum rajam melainkan melaksanakannya dalam kehidupan walaupun terhadap keluarga sendiri.


Dalam masa penjajahan Belanda Aceh punya sosok pemimpin seperti Tgk. Syhik DiTiro Muhammad Saman, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan lainnya yang tidak pernah tunduk kepada kaum penjajah sehingga berakhir dengan kesyahidan. Ketika para pembesar penjajah Belanda mengirim surat kepada Tgk. Syhik DiTiro Muhammad Saman membujuk beliau agar turun gunung dan mendapatkan jaminan hidup mewah bersama penjajah Belanda, beliau membalas surat dengan jawaban: “silahkan kaum penjajah Belanda semuanya masuk Islam hari ini, hari ini pula saya dan pengikut saya akan turun gunung dan kita hidup serta makan hasil alam Aceh bersama-sama. Jawaban yang menggerahkan kaum penjajah yang tidak pernah diduga datang dari seorang Tgk. Syhik DiTiro Muhammad Saman.


Ketika Aceh menjadi salah satu provinsi dalam wilayah Republik Indonesia, kita memiliki para pemimpin dari kaum ulama dan intelektual yang semua mereka sudah berbuat untuk Aceh dan bangsanya dengan amalan luar biasa berlandaskan Aqidah, syari’ah dan akhlak mulia. Tgk. Muhammad Dawud Beureu’eh telah memimpin para mujahidin dalam perang melawan Belanda, sudah memimpin kaum ulama di Aceh dalam wadah Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), sudah menjadi Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo.


Prof. Ali Hasjmy telah memimpin Aceh dengan karya-karya megahnya seperti kampus Kopelma Darussalam, menolak kejahatan-kejahatan yang melawwan Islam, punya konsep dakwah yang muslihat dan menjadi pemersatu bangsa Islam di Aceh. Demikian juga dengan sejumlah pelanjut mereka yang telah berbuat banyak untuk Aceh seperti Prof. A. Majid Ibrahim yang memulai membelah dua Krueng Aceh untuk menghindari banjir dalam Kota Banda Aceh, Prof. Ibrahim Hasan yang telah membebaskan rakit-rakit di sepanjang jalan kawasan barat-selatan. Prof. Syamsuddin Mahmud yang mewujudkan stadion Harapan Bangsa, SMA Modal Bangsa, Pesantren Ruhul Islam Anak Bangsa. Juga dr. zaini Abdullah yang telah mengesahkan qanun hukum jinayat, qanun LKS, mewujudkan payung ala Masjid Nabawi di masjid Raya Baiturrahman, membelah dua jembatan Krueng Lamnyong, mengadakan Fly Over Simpang Surabaya. Demikian juga dengan Irwandi Yusuf (Tgk. Agam) yang berani melawan Jakarta apabila mempermainkan Aceh sehingga ia dikorbankan.


Kriteria Pemimpin Ideal Aceh 


Beranjak dari latarbelakang tersebut maka calon pemimpin Aceh kedepan minimal wajib memiliki kriteria yang bernuansa syari’ah dan intelektualitas. Kriteria syari’ah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan para ulama fikih siyasah seperti yang dirumuskan Prof. Muhammad Al-Mubarak dalam kitabnya Nidzam al-Islam al-Mulk wa ad-Dawlah, kriteria pemimpin Islam itu harus kuat Aqidah, harus berakhlak mulia, harus alim (berilmu) dan harus punya kapasitas jeneral sehingga mampu menganalisa, mampu menempa dan mampu melaksana. Sementara Imam Al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah menetapkan tujuh kriteria seorang pemimpin Islam; adil, berilmu, arif/bijaksana, berani, lengkap alat Indera, sempurna kesehatan tubuh badan dan harus dari keluarga terhormat.


Beranjak dari situ maka dua kriteria dasar (bersyariah dan berintelektualitas) menjadi dasar paling dominan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Aceh kedepan, merujuk kepada para gubernur Aceh tempo dulu maka calon gubernur, calon Bupati/Walikota di Aceh kedepan mestilah orang-orang yang istiqamah dengan Islam, tetap menjalankan syari’at Islam, memiliki dan menjaga akhlak karimah yang terkafer dalam bingkai keadilan, keilmuan, kearifan, keberanian dan kehormatan.


Dengan demikian para pemimpin Aceh kedepan tidak cukup dengan memiliki link dan relasi dengan penguasai Indonesia di Jakarta tetapi diperbudak oleh mereka, tidak boleh karena dia banyak duit lalu dipilih manjadi pemimpin, boleh jadi duit banyal itu hasil judi dan shabu-shabu serta narkoba, tidak cukup dengan punya partai sehingga ada kursi yang mendaftarkannya sebagai calon, mungkin partai tersebut pecundang dan mesin penyiksa rakyat. Dan tidak cukup dengan kemampuan jeneral karena dibantu oleh kawan-kawan sehingga jauh dari kemampuan ilmu agama.


Poin terpenting untuk calon pemimpin Aceh kedepan adalah mampu memimpin ummah dalam dua kapasitas; kapasitas syariah dan kapasitas intelektualitas. Dalam Bahasa lain pemimpin itu adalah imam buat ummah dan imam itu ada dua tugas utama yang wajib dikuasai, yaitu seorang pemimpin harus mampu memimpin ummah sebagai pemimpin rakyat dan pemimpin itu harus mampu memimpin ibadah khususnya ibadah shalat. Jadi gubernur, bupati/walikota di Aceh wajib mampu menjadi imam ummah dan wajib pula berkapasitas sebagai imam shalat, dan shalatnya bukan shalat siang hari saja yang imamnya tidak baca ayat secara jihar, tetapi shalat lima waktu sehari semalam. Lalu kalau para calon belum menguasai itu bagaimana? Wajib belajar dan wajib tau, wajib mau, dan wajib mampu. Itu baru pemimpin Aceh namanya, kalau tidak demikian bagaimana kita membedakan pemimpin Aceh yang bersyariah dengan pemimpin Bali yang berhindu, dengan pemimpin Menado yang berkristen? Na’uzubillah dan wallahu a’lam.